Friday, December 11, 2009

Lelaki Itu Berjanji Untuk Mau

Ustadz: Ahmad Zairofi AM

Lelaki itu menemui Rasulullah. Meski bukan datang sebagai orang
baik-baik, tapi tekadnya sudah bulat: mengucapkan syahadat. Padahal,
mencuri, mabuk, hanyalah sebagian dari kebiasaan buruknya selama ini.

"Aku punya kebiasaan buruk yang sulit sekali aku tinggalkan," keluhnya
kepada Rasulullah usai masuk Islam.

Rasulullah menjawab, "Maukah kamu berjanji kepadaku untuk tidak berbohong?"

Rasulullah memberi solusi. Hanya itu permintaannya. Mau berjanji untuk
tidak bohong.

"Ya, mau. Aku berjanji untuk tidak berbohong," jawab lelaki itu. Setelah
itu ia beranjak pergi. Ia berkata, "Alangkah mudahnya permintaan Rasul
mulia ini. Hanya berjanji untuk tidak berbohong."

Beberapa waktu kemudian, keinginan mencurinya kambuh. Namun, ketika
hendak mencuri, ia teringat janjinya, "Kalau aku mencuri, lalu aku
ditanya Rasul, bagaimana aku akan menjawab? Kalau aku jawab "ya", bahwa
aku telah mencuri, berarti aku akan mendapat hukuman. Kalau aku jawab
"tidak", maka berarti aku telah berbohong, padahal aku telah berjanji
untuk tidak berbohong. Maka lebih baik bagiku meninggalkan mencuri."
Begitu juga ketika keinginan untuk mabuk datang, pertanyaan itu muncul
lagi. Sampai akhirnya, ia benar-benar menjadi seorang Muslim yang taat.

Lelaki itu adalah kisah tentang menjadi jujur hanyalah soal mau. Ia
tidak perlu ilmu yang rumit, teori yang panjang atau lebar. Dan hanya
dengan komitmen kepada kejujuran, ia mengubah hidupnya sedemikian jauh.
Dari dahulunya seorang pencuri, menjadi seorang yang taat dan penjuang
Islam.

Lelaki itu berjanji untuk mau. Mau meninggalkan dusta. Hanya itu
syaratnya, hanya itu permintaan yang harus diembannya. Ia tidak berjanji
dulu untuk bisa, sebab untuk bisa perlu proses. Bila setelah masuk Islam
ia harus bisa banyak hal tentang menjalankan ajaran Islam, maka ia perlu
belajar, ia perlu mengetahui banyak hal. Tetapi selalu ada kadar minimal
yang harus ia bisa dan tahu dari menjadi Muslim. Sebab ajaran Islam yang
pokok tidaklah rumit, tidak juga banyak. Maka kebiasaan yang sedikit
tentang ajaran Islam tidak terlalu berpengaruh. Terutama bagi prosesnya
untuk menjalani kewajiban sebagai Muslim. Tetapi bila masalahnya adalah
bohong, dusta, kianat, yang diperlukan hanya satu hal, kemauan untuk
meninggalkannya. Tetapi efeknya akan sangat besar. Maka bila kemauan
untuk meninggalkan dusta itu hanya sedikit, akan sangat besar pengaruh
buruknya.

Bisa, sering identik dengan pengetahuan yang diperlukan atau
keterampilan yang harus dimiliki. Tapi "mau", identik dengan kekuatan
kehendak, kegigihan yang dipegang, dan juga pilihan untuk mencintai apa
yang diyakini itu agar menjadi nyata.

Bila kebisaan dalam sebuah profesi terkait dengan ilmu, pengetahuan,
keterampilan, maka alangkah melimpahnya orang-orang itu. Bila kemauan
identik dengan pilihan untuk memilih yang baik, jujur, tidak berkianat
atas amanah, alangkah sedikitnya orang-orang itu. Ya, alangkah banyak
orang-orang yang bisa, tetapi sangat sedikit orang yang mau. Alangkah
banyak orang yang pintar, tapi sangat sedikit orang yang jujur.

Setiap kita memikul beban amanah yang berbeda-beda. Beda ruang lingkup,
beda pengetahuan, beda berat dan ringannya. Tetapi semua memerlukan satu
prinsip yang sama, amanah itu harus ditunaikan dengan jujur, benar, dan
jauh dari pengkhianatan.

Di zaman yang semakin tua, jujur nampak menjadi tema yang semakin tidak
populer, karena kian langka pemeluknya. Selain itu, menjadi jujur atau
tidak jujur, kadang-kadang dikaitkan dengan keberlangsungan hidup.
Karena itu jauh-jauh hari Rasulullah mengingatkan, "/Peganglah selalu
kejujuran. Meski dengan memegang kejujuran itu kamu terlihat akan
celaka, sesungguhnya di dalamnya ada keselamatan. Dan jauhilah olehmu
dusta, meski dengan dusta itu kamu lihat akan selamat, sesungguhnya di
dalamnya ada celaka./"

Seperti serat-serat saraf yang ada dalam tubuh kita. Jujur secara
kekuatan ada di dalam jiwa kita, geloranya tidak terlihat, tapi sangat
vital fungsinya. Karenanya, seperti ditegaskan Rasulullah, amanah yang
disia-siakan akan melahirkan kehancuran.

Allah SWT dengan tegas meminta kita menjalankan setiap amanah dengan
baik. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (/QS. An-Nisa': 58/)

Imam Ibnu Katsir mengatakan, bahwa perintah jujur dalam amanah ini
berlaku dalam segala bentuk amanat yang diwajibkan kepada manusia.
Bentuknya ada dua. Yaitu hak-hak Allah, seperti shalat, puasa dan
semisalnya. Dan kedua, hak-hak sesama manusia.

Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan larangan berkhianat. "Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.' (/QS. Al-Anfal: 27/).

Menurut Imam Ibnu Katsir, khianat itu meliputi dosa besar dan dosa
kecil. Sementara Ibnu Abbas menjelaskan, yang dimaksud amanat adalah
pekerjaan-pekerjaan yang diamanatkan sesama manusia kepada kita.

Imam Qurthubi berkata, "Ayat yang berbicara tentang amanah di dalam
AL-Qur'an itu meliputi segala tugas keagamaan maupun selain itu yang
masuk dalam kategori amanah. Juga meliputi nikmat dan karunia apa saja
yang telah diberikan Allah kepadamu, itu adalah amanah yang harus dijaga
dan digunakan sesuai dengan kehendak yang memberikan amanah itu, yaitu
Allah SWT. Maka mata itu amanah, telinga itu amanah. Kamu harus menjaga
kehormatanmu, jangan engkau hinakan. Jaga jiwa kamu dari perbuatan
nista. Begitu juga apa saja yang ada dalam kekuasaanmu, itu adalah
amanah. Kamu harus menjaganya dari terjerumus ke dalam kenistaan."

Oleh sebab itu, dalam tataran kekuasaan, di mana seseorang mendapat
amanah yang di tangannya banyak berkaitan nasib orang banyak, ancaman
orang-orang yang berkhianat jenis ini sangat berat. Rasulullah
menegaskan, "Tidaklah seseorang menjadi penanggung jawab urusan rakyat,
lalu ia mati dalam keadaan menipu dan berkhianat kepada orang-orang yang
memberinya amanah, kecuali akan diharamkan baginya syurga." (/HR. Bukhari/)

Lebih jauh, kelak, orang-orang yang berkhianat di hari kiamat akan
memiliki bendera. Tertulis dalam bendera itu, "Ini adalah pengkhianat
bagi si fulan."

Terlalu banyak orang-orang yang tahu, tapi sangat sedikit dari kita yang
mau. Dari lelaki yang dulu pemabuk dan pencuri itu, kita belajar
bagaimana "kekuatan mau" mengalahkan "keterbatasan bisa". Orang-orang
pintar boleh bangga dengan kesuksesan, tapi hanya orang-orang jujur yang
bisa merasakan kebahagiaan. Orang-orang pintar boleh senang dengan
kemelimpahan, tapi hanya orang-orang jujur yang akan menemukan ketenangan.

Ya, menjadi_*/ jujur bukan soal bisa atau tidak, tetapi apakah mau atau
tidak/*_.