Wednesday, October 28, 2009

MENGALIR SEPERTI AIR

Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, "Guru, saya sudah bosan hidup.
Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang
saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati."

Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."

"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu
sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan
penyakitmu itu bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa
disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup
ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita
menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut
mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan
kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu
memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam
hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan
suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh
dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.

"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin
hidup." Pria itu menolak tawaran sang Guru.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?"

"Ya, memang saya sudah bosan hidup."

"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam
nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum
besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."

Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi
selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh.
Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia
memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut
"obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia
rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan
ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.

Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang.
Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah
malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia
bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium bibir
istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu." Sekali lagi, karena malam itu
adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan
pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih
tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu
untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir,
ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali,
"Sayang, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku,
sayang."

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun
bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung
berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia
ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya
berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap
pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai
menikmatinya.

Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda
depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang,
sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu."
Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini,
ayah selalu tertekan karena perilaku kami."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat
indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan
setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?

Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru
langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air
biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup
dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan
menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu.
Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau
tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia
kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan."

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah,
untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia
tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia,
selalu tenang, selalu HIDUP!

(dikutip dari REKAN-KANTOR eNEWSLETTER)

0 comments: